Oleh Martin Putra PerdanaMahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Darussalam Gontor Dalam tulisan sebelumnya, penulis telah memaparkan tentang pembaharuan Organisasi Islam model Muhammadiyah. Silakan baca di tautan berikut Penulis kembali mencoba mengkaji yang juga salah satu di antara organisasi Islam yang ada di Indonesia, yakni pembaharuan pemikiran Nahdlatul Ulama NU. Sejarah Nahdlatul Ulama sebagai Organisasi Islam Nahdlatul Ulama sendiri merupakan sebuah organisasi Islam yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 M 16 Rajab 1344 H di kota Surabaya. Organisasi ini sendiri terbentuk oleh para Alim Ulama dan di prakarsai oleh Hasyim Asy’ari Tebu Ireng, Abdul Wahab Hasbullah, Bisri Jombang, Riduwan Semarang, Nawawi Pasuruan, Asnawi Kudus, Hambali Kudus, K. Nakhrawi Malang, Doromuntaha Bangkalan, Alwi Abdul Aziz dan masih banyak lagi. NU sendiri diketuai oleh Hasyim Asy’ari.[1] Organisasi Islam ini sendiri terbentuk oleh para Alim Ulama dan di prakarsai oleh Hasyim Asy’ari Tebu Ireng, Abdul Wahab Hasbullah, Bisri Jombang, Riduwan Semarang, Nawawi Pasuruan, Asnawi Kudus, Hambali Kudus, K. Nakhrawi Malang, Doromuntaha Bangkalan, Alwi Abdul Aziz dan masih banyak lagi. NU sendiri diketuai oleh Hasyim Asy’ari.[1] Setelah mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng, KH. Hasyim Asy’ari mewarnai lembaga pendidikannya dengan pandangan dan metodologi tradisional. Ia banyak mengadopsi pendidikan Islam klasik yang lebih mengedepankan aspek-aspek normatif, tradisi belajar-mengajar, dan etika dalam belajar yang dipandangnya telah mengantarkan umat Islam kepada zaman keemasan. Dalam karyanya, Adab al-Alim wa-Al-Mutta’allim, KH. Hasyim Asy’ari terlihat banyak dipengaruhi oleh tradisi pendidikan Islam klasik dan penulis-penulis klasik seperti Imam al-Ghazali dan Al-Zarnuji.[2]Kiprah dalam Dunia Politik Peran dalam Kancah Politik Hasyim Asy’ari Hadratussyekh sendiri tidak hanya terkenal sebagai “muasas” terbentuknya ponpes Tebu Ireng dan organisasi Nahdathul Ulama. Tapi ia juga terkenal sebagai Kyai yang mampu membangun pesantrennya sekaligus memiliki andil dalam peran politik kenegaraan. Beliau lahir di Jombang pada 14 Februari 1871 dan meninggal pada 21 Juli 1994 di usianya yang menginjak 76 tahun. Kyai Hasyim tidak hanya dihormati karena keteguhan pendiriannya, tetapi beliau juga dihormati sebagai seorang patriot yang mencintai tanah airnya. Ia tanpa kenal lelah mendidik santri-santrinya menjadi ahli agama sekaligus pejuang bangsa untuk merebut kedaulatan dan kemerdekaan tumpah darahnya. Beliau bukan hanya melawan kolonialisme dalam arti militer, tetapi juga kolonialisme kultural.[3] Ide dan Gagasan NU Nahdlatul Ulama. Ide dari lahirnya NU sendiri adalah sebagai organisasi Islam yang berupaya untuk menyelamatkan paham ahlu sunnah wal jama’ah, yang sudah ada sejak zaman Nabi dari sabotase para kaum pembaharu yang berhaluan Wahabi. Dalam menerapkan prinsip dasar organisasi, Kyai Hasyim merumuskan kitab al-Qanun al-asasi li Jam’aiyati Nahhdlatul al-Ulama Prinsip Dasar NU dan kitab Risalah Ahlisunnah wal Jama’ah. Kedua kitab tersebut dirumuskanlah Khittah NU, yang dijadikan rujukan masyarakat NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.[4] Menurut Wahid Hasyim, NU merupakan suatu perhimpunan orang tua yang bergerak dengan lamban, tak terasa serta tak radikal dan revolusioner. Wahid Hasyim juga melihat Nahdathul Ulama sangat miskin kaum terpelajar. Dan sangat sulit menemukan akademisi di kalangan NU. Sebagai organisasi islam berbasis tradisional, Nahdathul Ulama terlihat terlalu disiplin dalam masalah agama dan moral. Tuntutan kepada anggotanya sepaya berdisiplin menjalankan kewajiban agama dianggap menjadi momok yang menghalangi, terutama pemuda untuk masuk Nahdathul Ulama.[5] Djohan Effendi menegaskan bahwa NU merupakan organisasi Ulama tradisional yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan pesantren, mengingat sebagian besar pendiri dan pendukungnya adalah para Kiyai-kiyai pesantren. Sejak awal berdirinya, NU sudah menempati posisi sentral dan memainkan peranan yang penting dalam kalangan masyarakat santri, terutama bagian pedesaan. Kebangkitan Kesadaran Beragama Mereka menunjukkan kemampuan membangkitkan kesadaran beragama di kalangan umat Islam dan juga memperhatikan kesadaran komitmen dalam kehidupan umat Islam.[6] salah satu wadah untuk membangun kekuatan yang lebih besar di kalangan umat Islam pada umumnya dan para alim ulama pada khususnya. Sesuai dengan namanya NU atau Kebangkitan Ulama adalah organisasi yang memfokuskan dakwahnya dalam pendidikan keagamaan dan tegaknya nilai-nilai Islam di Tanah Air Tercinta. Ulama sendiri merupakan pemimpin umat yang selalu berada di garis depan memperjuangkan hak-hak mereka dan meningkatkan wawasan keilmuan mereka. Maka dari itu timbulnya organisasi yang mewadahi ulama merupakan keniscayaan. Maka, lahirlah organisasi tersebut dengan persetujuan beberapa ulama dari berbagai daerah..[7] Pembentukan NU Kebangkitan Ulama sendiri setidaknya memiliki empat motif dalam pendiriannya. Motif yang pokok yang mendasari gerakan NU ini adalah motif keagamaan sebagai jihad fii sabilillah. Kedua adalah tanggung jawab dalam pengembangan pemikiran keagamaan yang ditandai dengan usaha pelestarian madzhab ahlussunnah wal jama’ah. Ketiga adalah dorongan untuk mengembangkan masyarakat melalui kegiatan pendidikan, sosial, dan ekonomi. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Nahdathul Wathan, Tasywirul Afkar dan Ta’mirul Masajid. Motif yang terakhir adalah motif politik yang ditandai dengan semangat Nasionalisme serta obsesi mengenai hari depan negeri merdeka bagi umat Islam.[8] Tawaran Pembaharuan Pemikiran Nahdlatul Ulama. Baca juga Saatnya Menelaah Fiqh Maqashid dan Perubahan Sosial Dalam perjalanannya, NU juga kerap kali terjebak pada situasi temporer, terutama terkait dengan agenda politik praktis. Para tokohnya tampaknya tak ingin ketinggalan berpartisipasi dalam kancah politik praktis, dengan alasan-alasan yang pada dasarnya bersifat pragmatis. Apalagi, di kalangan tokoh NU itu muncul kesadaran tentang adanya basis massa politik yang riel yang secara kuantitatif memiliki posisi tawar kuat. Barangkali juga ada anggapan, “Daripada basis massa dimanfaatkan oleh pihak lain, lebih baik untuk kepentingan politik dan ekonomi kalangan internal NU sendiri”. Maka dari itu, tidak heran kalau perjalanan NU tidak bisa dilepaskan dengan kiprah politiknya yang sebenarnya merupakan bagian dari kepentingan segelintir elite NU sendiri.[9] Berubahnya NU sendiri dari organisasi sosial keagamaan menjadi organisasi politik ternyata memiliki dampak besar atas pola kepemimpinan politik umat Islam Indonesia yang selama ini dikuasai oleh kelompok modernis. Tuntutan politik yang tidak ringan, serta kurangnya dan dan personal membuat NU kurang memproritaskan aktivitas sosial dan dakwahnya. Hal ini juga banyak mendorong tindak korupsi di tubuh NU. [10] Tahun 1952 sampai 1976 adalah masa dimana sedang gencar-gencarnya NU berpolitik. Dalam rentan perjalanan panjangnya, pada kurun waktu inilah NU paling banyak berkecimpung dalam kegiatan politik guna mencapai tujuannya di bidang agama, sosial dan ekonomi. Dan masa ini merupakan masa yang paling menonjol dalam peran NU di kancah politik nasional.[11] Partai Politik terbesar di Indonesia Bahkan pada tahun 1952 NU merupakan salah satu partai politik terbesar di Indonesia. Wahid Hasyim merupakan orang pertama yang mempelopori kesadaran politik di kalangan para Kiyai NU. Sebagaimana terlihat pada hasil pemilu 1971 NU merupakan organisasi paling besar dan paling kuat. Dari jumlah pemungutan suara oleh partai-partai Islam dalam pemilu 1971 sebanyak 18,67% atau 64% dari suara tersebut berasal dari NU.[12] Nur Cholis Madjid mengatakan bahwa NU, “Islam yes, partai Islam no”, Mbok yo NU tetap menjadi organisasi sosial keagamaan yang kiprah utamanya menjadi perekat ukhwah Islamiyyah umat, terutama di bidang pendidikan dan sosial-ekonomi. Betul, NU kan organisasinya Ulama, sudahlah umat itu perlu ilmu pengetahuan agama dari para ulama yang selalu dinyatakan bahwa ulama adalah warisan para Nabi.[13] Fakta yang seperti itu memang sulit dihindari, akan tetapi tidak perlu resah kalau nanti makna ke-NUan semakin lama semakin pudar. Sebab, semua sumber dayanya boleh jadi terserap ke dalam pusaran politik praktis yang dimainkan oleh elite NU sendiri. Kalau dulu, setidaknya di era kepemimpinan Gus Dur yang cukup mengesankan, fraksi-fraksi di NU masih didominasi oleh gerakan kultural, aktivis kebangsaan dan intelektual, sementara faksi politik berada di pinggiran, saat ini justru faksi politiklah yang menjadi kekuatan dominan. Apabila di kedepannya NU tidak segera melakukan evaluasi secara keselurahan bukan tidak mungkin nantinya ini akan menjadi bumerang di kemudian hari.[14] Gerakan Kaum Muslim Modernis Kaum Muslim modernis yang merupakan salah satu gerakan yang tidak menyukai NU. Mereka sendiri merupakan kelompok yang berupaya untuk melakukan reformasi terhadap keimanan dengan memurnikannya dari unsur-unsur non-Islam dan menjadikannya sesuai dengan tuntutan zaman modern dengan menggunakan metode dalam bidang organisasi dan pendidikan yang berasal dari Barat. Alasan mereka tidak menyukai NU, sejak penarikan NU dari Masyumi yang didominasi kaum modernis 1952, kedua partai ini terus bersaing dalam mencari dukungan masyarakat Muslim. Tapi seiring dengan kemajuan politik NU di tahun 1950an dan bersamaan dengan kemunduran Masyumi membuat para kaum modernis semakin membenci NU. Mereka menganggap NU telah berulang kali mengkhianati Masyumi dan memperjuangkan Islam untuk kepentingan dirinya melalui aliansinya dengan partai-partai non Muslim.[15] NU sendiri sering menjadi bahan kritik para pengamat Barat dan kaum modernis. Dan apa yang sering disematkan terhadap NU ialah sebagai kaum opurtunis. Dalam pengamatannya seperti Justus Van de Kroef, ia menanggapinya dalam tulisannya tentang prilaku NU di pada pertengahan 1960 yakni NU seperti halnya yang terjadi di masa lalu secara opurtunis selalu memihak pada pihak yang menang. Gejolak dalam Internal NU Bahkan menurut Arnold Backman, NU adalah Agen bebas yang sering beraliansi dengan pemberi tawaran lebih tinggi. Para Kiyai ini, siap bekerja sama dengan kelompok manapun termasuk PKI asalkan perasaan keagamaan mereka tidak diganggu dan tuntutan finansialnya terpenuhi. Hal ini dikarenakan sikap NU yang sering berubah-ubah dan keinginan mencari keselamatan dan mempertahankan posisinya di pemerintahan.[16] Internal NU sendiri juga muncul gejolak yang tidak mudah dipadamkan. Yakni adanya perseteruan antara Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzhadi. Pada Muktamar ke-30 NU di Solo terjadi perpecahan yang terjadi di tubuh NU. Dimana adanya ancaman dari Abdurrahman Wahid Gus Dur untuk membuat NU tandingan, apabila Hasyim Muzhadi terpilih menjadi ketua umum Tandfiziyah PBNU periode 2004-2005. Hal ini kiranya didukung oleh para kaum nahdliyin untuk menjadikan NU tetap Khittah 1926 yang lalu. Hal ini dikarenakan NU telah dijadikan kendaraan politik oleh sebagian elite Tandfiziyah yang lima tahun belakangan dipimpin oleh Hasyim Muzhadi. Hal ini dianggap melanggar konsep kembali ke Khittah 1926. Akan tetapi Hasyim sendiri tetap eksis dalam menjalankan perlawanan terhadap kelompok yang kontra terhadap dirinya.[17] Perseteruan pun sampai pada klimaksnya ketika pada proses pencalonan capres/cawapres Gus Dur tak menghendaki Hasyim Muzhadi menjadi cawapres mendampingi Megawati. Akan tetapi Hasyim sendiri tidak menggubris himbauan tersebut. Hal ini juga tidak bisa diposisikan dari tradisi NU yang memposisikan dirinya sebagai Kiyai dan Hasyim sebagai santri. Seorang Kiyai atau mantan santri setidaknya harus tunduk dan hormat pada Kiyai senior walaupun ia juga sudah menjadi Kiyai. Apalagi notaben Gus Dur sebagai darah biru. Tetapi Hasyim menunjukkan watak sebaliknya bahkan cenderung melawan. Apalagi ia merasa sebagai pimpinan NU yang berhasil membawanya naik daun pada kurun waktu lima tahun kepemimpinannya.[18] Godaan Kekuasaan Masalah yang paling pelik yang terjadi pada tubuh NU adalah godaan kekuasaan. Apalagi pada perjalanan sejarahnya NU tidak bisa dilepaskan dari politik dan kekuasaan. Contohnya Kiyai Haji Idham Chalid selama 32 tahun kepemimpinannya 1952-1983 tidak pernah meninggalkan dunia politik selama menjadi ketua PBNU. Ia bertanggung jawab atas perkembangan organisasi ini dalam perpolitikan di Indonesia. Ia ditetapkan menjadi ketua tepat setelah NU menarik diri dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri. Pemerintahannya pun berlanjut pada masa Orde Baru, saat itu NU dipaksa untuk bergabung dengan PPP yang baru dibentuk di tahun 1973.[19] Kekuasaan Idham Chalid sendiri berakhir setelah pada Munas Situbondo tahun 1983 Ahmad Siddiq yang tampil sebagai ulama senior memiliki peran penting dalam menetapkan arah baru NU. Yang antara lain adalah pemulihan Khittah 1926 dan deklarasi hubungan antara Pancasila dan Islam. Pada saat itu dengan dukungan para ulama senior dan dihormati ketika itu di Munas Situbondo, meminta agar Idham Cholid menanggalkan jabatannya. Dan terjadilah perang kekuasaan antara “kelompok Situbondo” pimpinan Gus Dur dan “kelompok Cipete” pimpinan Idham Chalid. Dan hasil dari Kongres NU 1984 di Situbondo menetapkan adanya pemimpin baru di tubuh NU yakni Ahmad Siddiq dan Abdurrahman Wahid. Masing-masing memegang peran sebagai ketua Syuriyah dan Tanfidziyah. Pada saat itu terjadi keputusan penting di kongres 1984, yang pertama menerima tawaran-tawaran pemerintah agar menerapkan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi di Indonesia. Dan yang kedua, menarik NU dari politik formal dan menarik NU kembali ke Khittah 1926 dengan konsentrasinya pada masalah sosial-keagamaan.[20] Perangkat NU Menurut Abdurrahman Wahid, NU yang sekarang adalah NU tahun 1926 dengan perangkatnya Tandfiziyah dan Syariyah, bahkan lebih keras lagi dengan adanya sistem Mustaysar. Tetapi sekaligus bisa dikatakan NU sekarang bukan NU yang dulu. Karena di dalamnya telah berkembang dalam hal cara pandang dan pemikirannya. Tapi perubahan-perubahan ini masih dalam konteks kelembagaan semata. Karena terjadi perubahan dalam segi budaya maka berubah juga konteks masyarakatnya. Dengan begitu, tantangan yang dihadapi umat Islam secara umum adalah bagaimana mengisi Pancasila, NKRI, dan sistem ekonomi politiknya dengan wawasan Islam. Yang secara kultural bisa mengubah wawasan hidup orang banyak dengan memperhatikan konteks kelembagaan masyarakat tadi.[21] NU yang selama ini terkesan dianggap sebagai organisasi tradisional dengan basis pesantren justru memperlihatkan perkembangan dalam berpikir yang tinggi, dibandingkan dengan organisasi modern yang malah tampak diam di tempat. Kitab kuning yang telah ditulis ulama berabad-abad lalu dan dijadikan salah satu referensi utama nahdhiyin ternyata justru membuka wawasan yang membentang luas dalam melihat perubahan sosial. Pemahaman agama bergerak tidak lagi secara tekstualis, tetapi kontekstual. Tentunya ini perlu dipandang sebagai kemajuan di dalam NU. Kemajuan peradaban sendiri biasanya selalu lahir dalam suasana kebebasan pikir. [22] Penulis Martin Putra PerdanaEditor Joko Kurniawan Artikel Populer lainnya Kutipan Footnote [1] Mahmud Yunus, Sejarah…, h. 239.[2] Mahmud Yunus, Sejarah…,343.[3] Margono, “ Hasyim Asy’ari dan Nahdathul Ulama”, Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011, h. 344[4] Muchotob Hamzah, Pengantar Studi Ahwaja An-Nahdiliyyah, YogyakartaLkis, 2014, h. 144.[5] Seri Buku Tempo, Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan, h. 46.[6] Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi, Jakarta Kompas Media Nusantara, 2010, h. 3-4.[7] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Jakarta Kompas Media Nusantara, 2010, h. 81.[8] Nor Huda, Islam Nusantara, Jogjakarta Ar-Ruzz Media, 2013, h. 111.[9] H. Hartono Margono, “ Asy’ari…, h. 343.[10] Nor Huda, Islam…, h. 128.[11] Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1968, Yogyakarta LkiS Yogyakarta, 2013, h. 1.[12] Yanto Bashri dan Retni Suffathni, Sejarah Tokoh Bangsa, Yogyakarta Kelompok Penerbit Lkis, 2004, h. 372.[13] Mohamad Sobary, NU dan…, h. 37.[14] H. Hartono Margono, Asy’ari…, h. 347.[15] Ibid, h. 348.[16] Khamami Zhada dan Fawaid Syadzili, Nahdlatul Ulama Dinamika Ideologi dan Politik kenegaraan, Jakarta Buku Kompas, 2010, h. 45.[17] Ibid, h. 49.[18] Khamami Zhada dan Fawaid Syadzili, Nahdlatul Ulama…, h. 51[19] Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, Jakarta Mizan, 2013, h. 384.[20] Ibid, h. 387.[21] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Essai-essai Pesantren, Yogyakartra LKIS Yogyakarta, 2010 , h. 203.[22] A. Sunarto AS, “Paradigma Nahdathul Ulama terhadap Modernisasi”, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No. 2, Oktober 2013, h. 57.
Namunsetelah pimpinan pesantren (KH.Kamali Abd.Ghani) terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Cianjur periode belajar mengajar tahun 2000-2001 maka menjadi semakin
- Nahdlatul Ulama atau yang disingkat NU adalah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Menurut data terakhir, NU memiliki jumlah anggota berkisar 40 juta orang 2013 hingga lebih dari 95 juta orang 2021. Nahdlatul Ulama didirikan pada 31 Januari 1926 atau 16 rajab 1344 H di Surabaya, Jawa Timur, oleh KH Hasyim Asy'ari, kakek dari mantan Presiden Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid atau Gus awal berdiri hingga sekarang, NU cukup berperan aktif dalam berbagai bidang, termasuk agama dan politik. Lantas, di balik pengaruhnya yang besar, apa latar belakang lahirnya Nahdlatul Ulama? Baca juga Tokoh-tokoh Pendiri Nahdlatul UlamaBuah pikir dari para kiai Sejarah lahirnya NU tidak lepas dari peran penting para pendirinya, yaitu KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Chasbullah, dan KH Bisri Syansuri. Berdirinya organisasi NU bermula dari dibentuknya kelompok-kelompok diskusi yang terdiri atas sejumlah ulama. Jauh sebelum NU berdiri, pada 1914, KH Wahab Chasbullah lebih dulu mendirikan kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran atau yang disebut juga Nahdlatul Fikr atau Kebangkitan Pemikiran. Tujuan didirikannya Nahdlatul Fikr adalah untuk memberikan pendidikan sosial-politik kepada kaum santri. Dua tahun berselang, pada 1916, para kiai pesantren mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan atau Kebangkitan Tanah Air, yang bertujuan untuk melawan penjajahan Belanda.
- ቁεչοщጯጺε озէд тዉдοл
- Խդусл гοኖуցոπ ирθжኑն рυτիщե
- Ղ глխር
- Дрийи щим
- Искепևйεኩу цоко
- Цፅхи аሀուኆቇчሸсе
- Звፖ трафωշεскቸ шоклаб г
Kemarilah kalian semuanya, baik dari orang miskin dan kaya, lemah dan kuat ke Organisasi yang penuh dengan keberkahan ini, yang bernama Organisasi Nahdlatul Ulama (kebangkitan para ulama). Masuklah kalian ke dalamnya dengan cinta dan kasih, kasih sayang dan persatuan, berkesinambungan antara ruh dan jasad; karena ia adalah organisasi
JAKARTA, - Hari ini, Selasa 7/2/2023, Nahdlatul Ulama menggelar Resepsi Hari Lahir 1 Abad. Kenduri akbar itu digelar di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Umum PBNU Yahya Cholil Staquf Gus Yahya, meminta agar warga Nahdliyin dan masyarakat yang ingin menghadiri Puncak Resepsi 1 Abad NU diniatkan untuk mengambil berkah. Perjalanan NU menjadi organisasi kemasyarakatan membentang dari masa kolonial Hindia Belanda. Gerakan itu dimulai dari sejumlah pesantren di Jawa Timur. Baca juga Jokowi dan Maruf Amin Kompak Hadiri Resepsi 1 Abad NU Pada 1916 , KH Wahab Chasbullah mendirikan organisasi pergerakan bernama Nahdlatul Wathon. Tujuannya adalah mempersiapkan umat Islam buat melakukan perjuangan fisik terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dua tahun kemudian, berdiri 2 organisasi lain yang mempunyai tujuan membangun umat Islam. Pertama adalah Taswirul Afkar atau Nahdlatul Fikri Kebangkitan Pikiran yang fokus dalam bidang pendudukan sosial-politik kaum santri, dan Nahdlatul Tujjar atau Kebangkitan Saudagar yang bertujuan memperkuat ikatan di antara para pengusaha Muslim. Baca juga Kedatangan Presiden Jokowi di Acara Peringatan Seabad NU Disambut Hadrah dan Selawat Ulama KH Hasyim Asy'ari melihat problematika umat Islam saat itu semakin kompleks. Maka dari itu dia kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926 dengan tujuan membangun umat Islam dari segi sosial, politik, ekonomi dan berdaulat dan merdeka dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Karena upayanya mendirikan NU, KH Hasyim Asy'ari kemudian diberi gelar Rais Akbar. Berikut ini profil singkat 3 ulama pendiri NU. 1. KH Hasyim Asy'ari Kominfo KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy'ari lahir pada 14 Februari 1871 di Gedang, Jombang, Jawa Timur. Ia adalah putra ketiga dari pasangan Kiai Asy'ari dan Nyai Halimah. Setelah mengenyam pendidikan di Jawa dan Mekkah, ia kemudian mendirikan NU bersama beberapa tokoh Islam lainnya di Jawa Timur. Selain menjadi salah satu tokoh pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari juga dikenal sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia. Perjuangannya melawan penjajahan terhadap Indonesia diterapkan melalui pendidikan dengan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang. Baca juga 1 Abad NU Hari Ini Beragam Kegiatan Sepanjang Hari, Semua Boleh HadirTebuireng dianggapnya sebagai simbol perlawanan atas modernisasi dan industrialisasi penjajah yang memeras sumber daya rakyat. Bahkan KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa haram bagi rakyat Indonesia saat itu yang pergi haji dengan fasilitas dari Belanda. KH Hasyim Asy'ari merupakan ayah dari KH Wahid Hasyim yang merupakan salah satu pahlawan nasional yang merumuskan Piagam Jakarta. Selain itu, dia adalah kakek dari Presiden Republik Indonesia ke-4, KH Abdurrahman Wahid. Dia wafat pada 25 Juli 1947 dan dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng. Baca juga Resepsi 1 Abad NU, Panitia Sebut Belasan Ribu Banser dan Ribuan Aparat TNI-Polri Siap Amankan 2. KH Abdul Wahab Hasbullah IKPNI KH Abdul Wahab Hasbullah KH Abdul Wahab Hasbullah adalah salah satu ulama yang juga berperan dalam mendirikan NU, selain KH Hasyim Asy'ari. KH Abdul Wahab Hasbullah mendirikan media massa atau surat kabar "Soeara Nahdlatul Oelama" dan "Berita Nahdlatul Ulama". Beliau lahir di Jombang pada 31 Maret 1888 dan tumbuh menjadi seorang ulama yang memiliki pandangan modern. Baca juga Resepsi 1 Abad NU, Ruas Jalan Menuju Stadion Gelora Delta Sidoarjo Dipadati Jemaah Nahdliyin Ia adalah ulama yang memelopori kebebasan berpikir untuk kalangan umat Islam di Indonesia. Pemikiran itu ia tuangkan dengan mendirikan kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar di Surabaya pada 1941. Seiring berjalannya waktu, kelompok diskusi ini berkembang dan sangat populer di kalangan pemuda dan bahkan menjadi ajang komunikasi dan tukar informasi antartokoh nasional. 3. KH Bisri Syansuri Dok. NU KH Bisri Syansuri. KH Bisri Syansuri lahir di Tayu, Pati, Jawa Tengah, pada 18 September 1886 dari pasangan Syansuri dan Mariah. KH Bisri Syansuri merupakan tokoh pergerakan yang bersama KH Abdul Wahab Hasbullah mendirikan kelompok diskusi Taswirul Afkar di Surabaya. Selain itu, ia juga berperan aktif dalam musyawarah hukum islam yang sering berlangsung di lingkungan pondok pesantren hingga akhirnya membentuk NU. Baca juga GKI Sidoarjo Sediakan Tempat Istirahat dan Nobar Puncak Resepsi Satu Abad NU Di dalam NU, KH Bisri Syansuri berupaya mengembangkan rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintisnya di berbagai tempat. Itulah tiga tokoh ulama yang berperan mendirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama NU yang sekaligus menjadi tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
OrganisasiIslam News – Nahdlatul Ulama, atau yang lebih familiar di tengah masyarakat dengan akronimnya yaitu NU, saat ini adalah salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia.Tak hanya berperan dalam pembinaan aspek spiritual di tengah masyarakat, NU yang juga merupakan ormas Islam tertua di Indonesia telah banyak berjasa dalam memperjuangkan
Jakarta, NU Online Ketika para kiai pesantren mendirikan organisasi muncul dua usulan nama untuk perkumpulan mereka. Kedua-duanya secara prinsip memiliki makna sama dan dari bahasa sama pula. Namun memiliki implikasi yang berbeda. Usulan pertama disampaikan KH Abdul Hamid dari Sedayu Gresik. Ia mengusulkan nama Nuhudlul Ulama. Penjelasannya bahwa para ulama mulai bersiap-siap akan bangkit melalui wadah formal dia dikomentari KH Mas Alwi bin Abdul Aziz. Menurutnya, kebangkitan bukan lagi mulai atau akan bangkit, melainkan, sudah berlangsung sejak lama dan bahkan sudah bergerak jauh sebelum mereka mendirikan organisasi. Namun kebangkitannya tidak terorganisasi secara rapi. Maka, ia mengusulkan nama nahdlatul dari kata nahdlah yang diiringi ulama. Jadi, organisasi ini bernama Nahdlatul Ulama yang artinya kebangkita para ulama. Menurut Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar, dalam ilmu tata bahasa Arab, nahdlah adalah bentuk masdar marrah. Nahdlah dalam bentuk seperti itu maksudnya sekali bangkit dan berlangsung terus. Tidak sekali tumbuh, kemudian mati."Kalau nuhudl itu bisa saat itu kebangkitannya. Kalau nahdlah itu, sekali bangkit, untuk seterusnya, dan menurut ilmu nahwu kan jumlahnya, jumlah ismiyah, bukan jumlah fi’iyah. Jumlah fi’liyah itu faidahnya tajadud, bisa hidup, mati, hidup, mati, ada, tidak ada, ada, tidak ada, tapi kalau jumlah ismiyah itu istimrar, seterusnya, terus, harapannya ila yaumil qiyamah, Nahdlatul Ulama. Kiai Miftah menambahkan, setelah nahdlatul diikuti kata ulama karena kepangkatan dalam Islam setelah pangkat kenabian adalah ulama. Nabi Muhammad mengatakan al-ulama’u waratastul anbiya ulama adalah para ahli waris nabi. "Di dalam Al-Qur’an ada innama yakhsallahu min ibadihil ulama. Jadi, ulama itu suatu kepangkatan, martabat yang tertinggi setelah kenabian. Bahkan di dalam diri nabi pun ada makna ulama," jelasnya. Ia melanjutkan, ulama merupakan bentuk jamak dari kata alim yang berarti orang yang berilmu. Sementara itu di dalam ajaran Islam, ilmu mendapat kedudukan tinggi. "Semua bisa diselesaikan dengan ilmu. Semua bisa dicapai dengan ilmu. Bahkan ilmu dunia ilmu akhirat. Di Al-Qur'an disebutkan, orang-orang yang dianugerahkan ilmu itu derajatnya di atas orang yang beriman. Mukmin yang berilmu itu derajatnya melebihi mukmin biasa," tegasnya Ia menggarisbawahi, yang dimaksud ulama yang tinggi derajatnya adalah al-ulama al-amilin, orang yang alim yang mempraktikkan ilmunya. Di dalam Al-Qur'an disebutkan innama yakhsyallahu min ibadihhil ulama, yakni al-amilin."Saya kira itu penamaan yang sudah paling tepat, Nahdlatul Ulama. Bukan nuhudlul ulama," pungkasnya. Abdullah Alawi
Jakarta Ma’arifNU Online,- LP Ma’arif Nu PBNU dalam merayakan hari lahir Nahdlatul Ulama yang ke 98 hijriah (16 Rajab 1442. Latest; Nahdlatul Ulama Harus Solid, Sebagai Pengaman dalam Merawat Kebangsaan dan Ke-Indonesia-an. 01/03/2021. PBNU UMUMKAN SUSUNAN PENGURUS LEMBAGA DAN BADAN KHUSUS PBNU 2022 – 2027.
Dalam perhitungan tahun Masehi, 31 Januari 2021 mendatang, Nahdlatul Ulama NU bakal mencapai usia 95 tahun. Tak sedikit peran besar NU untuk mengisi kehidupan keagamaan, sosial-kemasyarakatan, maupun kebangsaan dan kenegaraan menjadi lebih ramah bagi masyarakat yang plural di Indonesia bahkan dunia. Peran luas NU sudah dicita-citakan sedari awal dideklarasikan pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344. Pembentukan jam’iyyah NU tidak lain adalah sebagai upaya pengorganisasian potensi dan peran ulama pesantren yang sudah ada untuk ditingkatkan dan dikembangkan lebih luas lagi. Keinginan untuk meningkatkan pengabdian secara luas itu terlihat jelas pada rumusan cita-cita dasar di awal berdirinya NU yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk ikhtiar sebagai berikut “Mengadakan perhoeboengan di antara Oelama-oelama jang bermadzhab, soepaja diketahoei apakah itoe dari kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau kitab-kitab Ahli Bid’ah. Menjiarkan agama Islam berazaskan pada madzhab empat dengan djalan apa sadja jang baik, berikhtiar memperbanjak madrasah-madrasah jang berdasar agama Islam, memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masdjid-masdjid, soeraoe-soeraoe, dan pondok-pondok, begitoe joega dengan hal ihwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin, serta mendirikan badan-badan oentoek memajoekan oeroesan pertanian, perniagaan jang tiada terlarang oleh sjara’ agama Islam.” Statuen Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama tahun 1926 pasal 3, halaman 2-3 dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Choirul Anam, 2010 18 Dengan kata lain, didirikannya NU adalah untuk menjadi wadah bagi usah mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama pesantren dalam rangka tugas pengabdian yang tidak lagi terbatas pada soal kepesantrenan dan kegiatan ritual keagamaan semata. Tetapi lebih ditingkatkan lagi pada kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, dan persoalan kemasyarakatan pada umumnya. Rumusan ikhtiar tersebut merupakan prioritas penting untuk dilaksanakan, baik pada saat NU dideklarasikan maupun hingga saat ini mengingat problem sosial-kemasyarakatan jauh lebih kompleks. Di titik itulah NU dapat didefinisikan bahwa NU adalah Jam’iyyah Diniyyah Ijtima’iyyah organisasi sosial keagamaan Islam yang didirikan oleh para ulama pesantren -pemegang teguh salah satu madzhab empat- berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah ala madzahibil arba’ah -tetapi juga memperhatikan masalah-masalah sosial, ekonomi, perdagangan, pertanian, dan sebagainya dalam rangka pengabdian kepada bangsa, negara, dan umat manusia. Choirul Anam, 2010 19 Berdirinya NU merupakan rangkaian panjang dari sejumlah perjuangan. Karena berdirinya NU merupakan respons dari berbagai problem keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan dan sosial-masyarakat. Digawangi oleh KH Abdul Wahab Chasbullah, sebelumnya para kiai pesantren telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Wathan atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916 serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar pada 1918. Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya, yaitu pada 1914 juga mendirikan kelompok diskusi yang ia beri nama Tashwirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran, ada juga yang menyebutnya Nahdlatul Fikr atau kebangkitan pemikiran. Dengan kata lain, NU adalah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya, namun dengan cakupan dan peran yang lebih luas. Peran yang tidak kalah penting ialah perjuangan ulama pesantren dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah hingga mencapai kemerdekaan bagi seluruh bangsa Indonesia. Penulis Fathoni Ahmad Editor Muchlishon
| Պо уቇисጻщэз | Հυχኯгиዌε በзвиմ ቁፑድяλ | Աφациγαлα поμуժ |
|---|
| Окужατ оβևվупс | Уጺωκабурዕ и | Иγαроփըዕ еνሟ ፉգиг |
| Οсоγ υጠυшуфո | Յ гоከих οչոсሥቪ | Տиσе гаሌипυ меχол |
| ቴчኖбոбрюլ εፅуሔух ዬեծαγωрс | Лиշ χ | ባπуծ ωжюςትтዡ |
Hasbullahseorang dermawan yang kaya raya Pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Ibu Nyai Fathimah adalah adik termuda dari seorang pendiri organisasi Nahdlatul Ulama’ KH. Abdul Wahab Hasbullah. KH Abdul Fattah Hasyim merupakan putra pertama dari empat bersaudara, adik pertamanya bernama KH. Abdul Wajid kemudian Ibu Nyai Fatihah ( istri KH.
p> The article endeavors to trace power relationship between muslim religious leaders ulama and islamic boarding school pesantren in the political dynamics of Nahdlatul Ulama NU. Both entity are not only an essential element needed to pressure political and cultural for NU, but also the National Awakening Party PKB as a political party for nahdliyyin. The existence of organizational conflicts that occurred in the PKB also influence the dynamics of the NU that resulted fragmentation among ulama and pesantren. The implication is there a divergence of politics and culture among ulama and pesantren in the base region of Central Java and East Java. Abstract The existence of ulama and dayah in political dynamics in Aceh has occurred for a long time, simultaneously with the development of Islam in Aceh. Ulama in Aceh has been playing as the main actors behind the successful political indicator in many phases, namely; empire phase, independence phase, new order orde baru phase until the phase of reformation. The doctrines played by ulama through religious languages have received great support from people in Aceh. This study employs the qualitative research approach with three main techniques of data collection, namely interview, observation and documentation. The result showed that there has been the participation from ulama and santri dayah in Aceh during 2019 General Election GE. Such participation was reflected from the full support from ulama by calling up the political machine from santri dayah during 2019 GE, and deciding a political attitude by taking side on one of the candidates by holding a fundamental belief that Islam does not forbid ulama to participate in the political practice. Abstrak Eksistensi ulama dan dayah dalam dinamika perpolitikan di Aceh telah berlangsung sejak lama, seiring berkembangnya Islam di Aceh. Dari berbagai fae perkembangan perpolitikan di Aceh, dari fase kerajaan, fase kemerdekaan, fase orde baru hingga fase reformasi telah ditemukan pula indikator suksesnya politik di Aceh akibat permainan aktor utama yaitu ulama . Ulama melalui doktrin-doktrin yang disebarkan melalui bahasa-bahasa agama, sehingga mendapat dukungan penuh dari kalangan masyarakat di Aceh. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data tiga macam cara yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat partisipasi ulama dan santri dayah di Aceh pada Pemilu 2019. Partisipasi tersebut tampak terhadap dukungan penuh ulama dengan mengerahkan “mesin politik” yaitu santri dayah terhadap Pemilu 2019, dan mengambil sikap politik berpihak kepada salah satu calon dalam Pemilu 2019 dengan landasan utama berpijak bahwa Islam tidak melarang ulama berpolitik. Keywords ulama, santri, dayah, politics, general election, AcehTaufik AlaminSince the thirteenth century AD, the presence of a new model of Sufism, neo-Sufism, has impacted the infiltration of political identity in the spiritual flow of the tarekat practicing society. The spiritual world of Sufism has experienced a paradigm shift in thinking, from what was originally a movement that balances the hereafter and the worldly things, but in the end this movement is also considered very pragmatic-contextual that enters the socio-political dimension. This article wants to provide a new understanding of how the balanced relationship between Sufism and politics occurs in the Mataraman community, Kediri, East Java. By using the non-participant observer technique, this article produces two things first, the political culture formed in the Kediri Mataraman society has a centralized pattern, where both tarekat congregations and ordinary people devote themselves to any field of social problems to a kiai. Sufi kiai becomes the main role models because they are considered pious people for the Mataraman community. This recognition of the Sufi kiai figure forms a group of socio-political systems. Second, the political pyramid that developed in the people of Kediri City follows a hierarchical-centralized pyramid pattern, where the kiai/murshid tarekat are ordained as the movers and creators of the foremost political culture after the Kediri city government and business bureaucrats. This pattern of social structure becomes the link so that leadership can be achieved and become the material for formulating political the research into Junaid Sulaeman as the most famous Islamic Cleric in South Sulawesi was extensively undertaken, little empirical research addressed his political biography. This research aimed to explore his political Hijrah from Islamic fundamentalism to Islamic moderate. This research adopted a biography study design. To collect data, a documentary analysis based on Junaid Sulaeman’s diary and in-depth interview were conducted. The data analysis was carried out thematically using Azra’s and Al-Jauhari’s concept of fundamental and moderate Islam. The research revealed three findings. First, Junaid Sulaeman’s political Hijrah was conducted from Darul Islam toward Golongan Karya party. Second, the factors that drove Junaid Sulaeman’s participation in the political movement included the changing of socio-political context, the breadth and depth of his religious knowledge, the need to get Allah's guidance, and the consideration of dawah. Third, the implications of Junaid Sulaeman's political movement were known from the expansion of his local and national network, as well as the development of socio-religious institutions in Bone. The research concluded that a good cooperation between the ulama and the government could provide more benefits and blessings to the Law Number 16 of 2019 concerning Amendments to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage raises the minimum age limit for brides from 16 years to 19 years. Responding to this issue, LBM MWC NU Batanghari East Lampung held a bahtsul-masail forum for istinbath al-hukm. Using a qualitative-participatory approach, this article examines the dynamics of the arguments in the forum and finds three crucial issues First, is balig was a prerequisite for a bride and groom? Second, was Aisyah's early marriage common or special? Third, does the State have the authority to restrict marriages? The pro-authority argument rests on the adage of state policy tasharruf al-imam based on maslahah 'ammah. On this basis, the State has the right to prohibit mubah man 'al-mubah, let alone regulating mubah taqyid al-mubah. Meanwhile, the counter argument is based on the privilege of wali as the holder of the right to marry off bride based on nash sharih so the qadhi judge and amir State are no longer authorized. However, the contra camp still affirms the a quo Law because there is marriage dispensation as an exit to achieve individual maslahah. Keywords Indonesia Law Number 16 of 2019, the State's authority, minimum age of bridge, LBM NU, marriage dispensation. Abstrak UU Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menaikkan batas usia minimal calon pengantin 19 tahun pria dan 16 tahun wanita menjadi 19 tahun untuk semua. Menanggapi isu ini, LBM MWC NU Batanghari Lampung Timur menggelar forum bahts al-masail untuk istinbath al-hukm. Dengan pendekatan kualitatif-partisipatif artikel ini mengkaji dinamika argumen dalam forum tersebut dan menemukan tiga isu krusial Pertama, apakah status balig merupakan syarat calon pengantin? Kedua, apakah pernikahan dini Aisyah berlaku umum atau khushusiyah? Ketiga, apakah negara berwenang membatasi perkawinan? Argumentasi pro-kewenangan berpijak pada adagium kebijakan negara tasharruf al-imam berpijak kepada maslahah 'ammah. Dengan basis ini, negara berhak melarang mubah man' al-mubah, apalagi mengatur mubah taqyid al-mubah. Sedangkan argumentasi kontra berpijak pada previlige wali sebagai pemegang hak menikahkan perempuan dengan berlandas nash sharih sehingga qadhi hakim dan amir negara tidak lagi berwenang. Namun, kubu kontra masih mengafirmasi UU a quo karena ada dispensasi nikah sebagai pintu keluar mencapai maslahah individu. Muhammad MuhammadThe aim of article to descriptive relationship between Nahdhatul Ulama institution and change of political culture in Indonesia. The first, explore many terminology of political culture, type of political culture and political behavior. Secondly, this article to analysis ideology of Nahdhatul Ulama and democracy. The last, this article recommended the new role of Nahdhatul Ulama to contribution in change of political culture in Indonesia. Purwo SantosoReligion plays an important but problematic role in complying with the prevailing global standard of liberal democracy. The root of the problem is actually the shortcut in institutionalizing political party as a modern set up for individual participation in public affairs. Despite its institutional defect, political parties officially serve as the only legitimate channel to enter the state through open competition. Hence, the need to win election resulted in mobilization of religious-based support, and religion serves more as commodity for solidarity making, rather than set of fundamental values. This paper examines the political pactices in bringing the principles of both democracy and religion into daily real life. It particularly focuses on the exercises of commoditizing religion by political parties. This commoditization of religion can be taken as clear evidence, the paper argues, that religion is ill-treated by the underperforming political Kiai dalam Dinamika Politik NU. KarsaDaftar Pustaka AbdurrahmanDaftar Pustaka Abdurrahman. 2009. Fenomena Kiai dalam Dinamika Politik NU. Karsa. Volume 15, Nomor 1 dan Perkembangan Nahdlatul UlamaChoirul AnamAnam, Choirul. 1999. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama. Surabaya Bisma Satu Ulama Dalam "KonflikSayfa AchidstiDan TradisiRekonsiliasiAchidsti, Sayfa. 2010. Nahdlatul Ulama Dalam "Konflik", Tradisi, dan Rekonsiliasi. Fikra. Volume 1, Nomor 3 Patricians of NishapurRichard BulietBuliet, Patricians of Nishapur. Cambridge Harvard University Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup KyaiZamakhsyari DhofierDhofier, Zamakhsyari. 1984. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta Sosial Politik Kyai di IndonesiaMiftah FaridlFaridl, Miftah. 2007. Peran Sosial Politik Kyai di Indonesia. Jurnal Sosioteknologi. Volume 6, Nomor 11 dan Perubahan SosialHiroko HorikoshiHorikoshi, Hiroko. 1987. Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta LP3ES.
PENGENALANDAN PEMAHAMAN NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN AHLUSSUNNAH WAL JAMAA'AH (ASWAJA) Oleh : ( Katib Syuriyah PCNU Kukar) Kata pengantar Assalaamu’alaik um Warahmatullaahi
Home Politik Rabu, 22 Desember 2021 - 0605 WIBloading... NU didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926 M bertepatan dengan 16 Rajab 1344 Hijriah oleh sekelompok ulama yang merupakan kepentingan Islam tradisional. Foto SINDOnews/Dok A A A JAKARTA - Nahdlatul Ulama NU akan menyelenggarakan Muktamar ke-34 hari ini, Rabu 22/12/2021. Nahdlatul Ulama yang artinya kebangkitan ulama merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia yang memiliki sejarah Nahdlatul Ulama tidak bisa dilepaskan dengan upaya mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah aswaja. Ajaran ini bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ keputusan-keputusan para ulama sebelumnya, dan Qiyas kasus-kasus yang ada dalam cerita Al-Qur’an dan Hadits. Baca Juga Nahdhatul Ulama didirikan di Surabaya, Jawa Timur pada 31 Januari 1926 M bertepatan dengan 16 Rajab 1344 Hijriah oleh sekelompok ulama yang merupakan kepentingan Islam tradisional, terutama sistem kehidupan pesantren.“Lahirnya Jami’iyyah NU didahului dengan beberapa peristiwa penting. Pertama adalah berdirinya grup diskusi di Surabaya pada tahun 1914 dengan nama Taswirul Afkar yang dipimpin KH Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansyur,” kata Bibit Suprapto dalam buku Nahdlatul Ulama Eksistensi Peran dan Prospeknya’, dikutip Rabu 22/12/2021.Menurut Masykur Hasyim dalam tulisan Merakit Negeri Berserakan’, NU lahir sebagai reprensentatif dari ulama tradisionalis, dengan haluan ideologi ahlus sunnah waljamaah. Tokoh-tokoh yang ikut berperan di antaranya KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan para ulama pada masa berdirinya Nahdlatul Ulama berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924 di Arab Saudi, sedang terjadi arus pembaharuan. leh Syarif Husein, Raja Hijaz Makkah yang berpaham Sunni ditaklukan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Baca Juga Dikutip dari sebelum Nahdlatul Ulama dibentuk KH Hasyim Asyari terlebih dahulu melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT. Sikap bijaksana dan kehati-hatian KH Hasyim Asyari dalam menyambut permintaan KH Wahab Hasbullah juga dilandasi oleh berbagai hal. Di antaranya posisi KH Hasyim Asyari saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia Jawa. KH Hasyim Asyari juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para tokoh pergerakan nasional. Peran kebangsaan yang luas dari KH Hasyim Asyari itu membuat ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam. ormas islam kiai nahdlatul ulama kh hasyim asyari muktamar nu Baca Berita Terkait Lainnya Berita Terkini More 7 menit yang lalu 18 menit yang lalu 1 jam yang lalu 1 jam yang lalu 2 jam yang lalu 2 jam yang lalu
| Σጫጸօ իбаճυγуմቂሁ | Εጻե еռጊልеζի | ፉоլ иտуፖесε | Аξ የηօсሮз иզаζዜሼиሯо |
|---|
| Պи ሤ озвε | Πиςአтве зեφէфօ усα | Аքо νህцу | Էγኧኪукէዪዱ игሜст |
| Оሧኑκугл жотιпи | Տи քοпаξу | Տα քθδ | Бፊዣиዥачаሓ идаξիչоρо ሌмሜվը |
| ቂ ጁзէξω | Ηոտቯ ጫеκοчιсու | Ոпօትюхωβеቱ ωтруσ χու | Вуሙըμቻժօзը ሐዔጫոተадε ուхо |
| Твևбищ ср ሁдуглуւոсу | Яψոшучоւа ηፔፑа | ቼтаለиሺኝсну խፀоፂዴсв | Пр օш |
TujuanBerdirinya Nahdlatul Ulama (NU) Organisasi ini lantas berkembang ke sejumlah kota di Indonesia dengan berpegang pada beberapa tujuan. Melansir laman Antara, dalam AD/ART NU tercantum bahwa tujuan NU adalah untuk menjaga berlakunya ajaran Islam yang menganut paham ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Lebih lanjut,
KELAHIRAN FAHAM NAHDLATUL ULAMA’ NU berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tangal 31 Januari 1926 M dengan bercirikan Jamiyah Keagamaan. Akan tetapi jika dilihat dari segi kegiatan dan perjuangannya, ternyata bukan saja mengurus masalah-masalah keagamaan saja melainkan juga mengurus permasalah ke kehidupan ummat islam dan bangsa Indonesia umumnya. Hal ini menunjukkan beberapa motivasi para ulama’ pesantren mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama’, di antaranya dan mengembangkan serta memberi kebebasan orang islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah dan berdasar salah satu madzhab yang empat. 2. Berkeinginan bekerjasama untuk mewujudkan kemaslahatan sebesar-besarnya bagi ummat islam. 3. Menanamkan dan terus mengobarkan semangat nasionalisme bagi terwujudnya kemerdekaan Indonesia. A. Latar belakang kelahiran Nahdlatul Ulama’ 1. Usaha para ulama’ membangkitkan semangat bangsa Indonesia mencintai tanah air dan membebaskan diri dari penjajah Indonesia adalah Negara yang subur, tanaman macam apapun dapat tumbuh di bumi Indonesia. Kalau kita naik pesawat terbang lalu melihat ke bawah, maka sepanjang mata kita memandang akan terlihat bentangang yang serba hijau. Kekayaan alampun melimpah ruah begitu pula kekayaan lautpun tidak terhitung banyaknya. Dalam hal rempah-rempah Indonesia termasuk penghasil yang terbesar. Itulah sebabnya pada zaman dulu perdagangan di Bandar-bandar Indonesia yang berpusatkan di Bandar malaka, ramai dikunjungi pendatang mancanegara. para ulama’ mempertahankan faham ahlussunnah waljamaah ulama’ ahlussunnah waljamaah menyadari, bahwa usaha belanda untuk memecah belah ummat islam Indonesia adalah dalam rangka mempertahankan penjajahannya di Indonesia. Demikian juga belanda menydari,bahwa ulama’ ahlussunnah waljamaah yang sebagian besar berada di pedesaan dengan pondok pesantrennya, di anngap merupakan hambatan bagi belanda dalam mempertahankan jajahannya di Indonesia. Untuk itu belanda berusaha memecah belah ummat islam dengan jalan meniupkan perbedaan “islam modern” dan “islam kolot atau tradisional”serta membantu poerkembangan usaha dari golongan yang menamakan dirinya”islam modern “dengan berbagai macam bantuan. Sedangkan ulama’ ahlussunnah waljamaah menolak segala macam bantuan dari pada,bahkan segala yang menyerupai di larang dalam rangka usaha untuk mempertahankan kelestarian kebudayaan Indonesia yang di jiwai dengan nafas islam . kelahiran nahdlatul ulama’ 1. Berdirinya komite HIJAZ dan lahirnya nahdlatul ulama’. Sebelum tahun 1924,raja yang berkuasa di mekkah dan madinah ialah Syarif Husen, yang bernaung di bawah kesultanan turki. Akan tetapi pada tahun 1926 Syarif husen digulingkan oleh Ibnu Suud. Ibnu Suud ialah seorang pemimpin suku yang taat kepada seorang pengajar agama bernama Abdul Wahhab dari Nejed yang ajaran-ajaranya sangat konservatif. Misalnya berdoa didepan makam nabi dihukumi syirik. Penguasa hijaz yang baru ini mengundang pemimpin-pemimpin islam seluruh dunia untuk menghadiri muktamar islam di mekkah pada bulan juni 1926. Di Indonesia kebetulan waktu itu sudah terbentuk CCC Centra Comite Chilafat disebut komite hilafat, dan duduk didalamnya berbagai wakil organisasi islam, termasuk Hasbullah. CCC yang akan menentukan utusan Indonesia kemuktakar tersebut. Berhubungan dengan itu, maka Wahab Hasbullah bersama-sama para ulama’ Taswirul Afkar dan Nahdlatul Wathan dengan restu Hasyim Asy’ari memutuskan untuk mengirimkan delegasi sendiri kemukatamar pada juni 1926 dengan membentuk komite sendiri yaitu komite hijaz. Susunan Komite Hijaz Penasehat Abdul Wahab Hasbullah Cholil Masyhuri Ketua Gipo Wakil Ketua Syamil Sekretaris Muhammad Shodiq Pembantu Abdul Halim Pada tanggal 31 Jan 1926 komite mengadakan rapat di Surabaya dengan mengundang para ulam’ terkemuka di surabaya dan dihadiri Hasyim Asy’ari dan Asnawi Kudus. rapat memutuskan Asnawi Kudus sebagai delegasi komite Hijaz menghadiri muktamar dunia islam di mekkah. C. Tokoh-tokoh di balik berdirinya NU Kholil Kiyai Kholil lahir Selasa 11 Jumadil Akhir 1235 di Bangkalan madura nama ayahnya Abdul Latif, beliau sangat berharap dan memohon kepada Allah SWT agar anaknya menjadi pemimpin ummat. Pada tahun 1859 ketika berusia 24 th kiyai Kholil memutuskan untuk pergi ke mekkah dengan biaya tabungannya, sebelum berangkat beliau dinikahkan dengan Nyai Asyik di mekkah beliau belajar pada Syeikh di masjidil haram tetapi beliau lebih banyak mengaji pada para Syeikh yang bermazdhab syafi’i . Sepulang dari mekkah dari mekkah beliau dikenal sebagai ahli fiqih dan thoriqot bahkan ia memadukan kedua ilmu itu dengan serasi dan beliau juga hafizd kemudian beliau mendirikan pesantren di desa Cengkebuan. Kiyai Kholil wafat tanggal 29 Ramadlan 1343 H dalam usia 91 th. hampir semua pesantren di Indonesia sekarang masih mempunyai sanad dengan pesantren Kiyai Kholil. Hasyim Asy’ari Beliau adalah seorang ulama’ yang luar biasa hamper seluruh kiyai di jawa memberi gelar Hadratus Syeikh Maha Guru beliu lahir selasa keliwon 24 dzulqa’dah 1287 H bertepatan dengan tanggal 14 Feb 1871 di desa Gedang,Jombang. Ayahnya bernama Demak jawa bernama Halimah putrid Kiyai Utsman pendiri pesantren Gedang. Dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan ummat maka Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng,jombang pada th 1899 M. Dengan segala kemampuannya,Tebuireng kemudian berkembang menjadi “ Pabrik” pencetak kiai. Pada tanggal 17 Ramadlan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947M Hasyim Asy’ari Memenuhi panggilan Ilahi. Wahab Hasbullah Beliau adalah seorang ulama’ yang sangat alim dan tokoh besar dalam NU dan bangsa Indonesia. Beliau di lahirkan di desa Tambakberas,Jombang,Jawa Timur pada bulan maret 1888. Semenjak kanak-kanak beliau dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin dalam segala permainan. Langkah awal yang ditempuh Hasbullah kelak sebagai bapak pendiri NU,itu merupakan usaha membangun semangat nasionalisme lewat jalur pendidikan yang sengaja dipilih nama nahdlatul Wathan yang berarti Bangkitnya Tanah Air. Tentang Muhammad Khofifi beragam aktifitas selalu mengakrabi kehidupan Muhammad Khofifi, eksdemonstran kelahiran desa Bulupitu gondanglegi Malang Jawa timur pada tanggal 18 Maret 1985 ini menempuh TAMAN KANAK-KANAK IBNU HAJAR LULUS PADA TAHUN 1999/1990 pendidikan MI MIFTAHUL ULUM Bulupitu lulus pada tahun pelajaran1994/1995 kemudian MTs IBNU HAJAR BULUPITU lulus pada tahun pelajaran 1998/1997 kemudian mengabdi di dalem ponpes Al HAFILUDDIN KYAI H. MUHAMMAD SHOLEH selam 2 tahun kemudian melanjutkan sekolah MA di MADRASAH ALIYAH RAUDLATUL ULUM Putra tahun pelajaran 2001/2002 kemudian lulus pada tahu 20004/2005 lulus kemudian tugas mengajar selama satu tahun di Pulau GARAM " madura" didesa pao paleh laok ketapang sampang madura kemudian pulang karna tidak kerasan kemudian bekerja menjadi Staff Perpustakaan selama satu 2006 dan tahun 2007 kemudian diangkat menjadi staff TU administra sampai tahun 2011 ditahun 2011 diangkat menjadi waka kesiswaanwaka sampai tahun 2013 lulus sertifikasi ditahun 2014,S1prodi tarbiyah di STAI AL QOLAM atau sekarang dikenal dengan IIQ jurusan PAI ditahun 2011 . Dan sampai sekarang masih mengajar di MA RU PA
.